Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 1 Desember 2016 saya berkesempatan mengikuti “Workshop Membuat Doodle Di Atas Kertas Daluang bersama Kriya Indonesia dan Kartini Blue Bird”.
Kegiatan workshop dodle di atas daluang merupakan salah satu rangkaian acara yang digelar di Museum Tekstil yang mengambil tema Beaten Bark Exibhition yang berlangsung pada tanggal 1 hingga 11 Desember 2016.
Kali ini kegiatan workshop melukis doodle di atas kertas daluang berlangsung atas kerjasama Museum Tekstil, Kartini Blue Bird dan Kriya Indonesia. Acara ini sekaligus merupakan penutupan pameran Daluang, Fuya dan Tapa (Beaten Bark Exibition).
Kartini Bluebird adalah CSR dari perusahaan PT Blue Bird Indonesia kegiatannya berupa pelatihan berbagai keterampilan untuk para istri dan pegawai PT. Blue Bird Indonesia.
Kali ini, kami crafter blogger bersama beberapa Kartini BlueBird belajar melukis di atas kertas kain daluang bersama mba Tanti Amelia. Seorang illustrator yang memiliki bakat terpendam dalam ketrampilan doodle. Sepanjang saya mengenal beliau, seringkali saya dibuat terpukau dengan gambar yang dibuat Mba Tanti, coretan yang dibuatnya dalam berbagai media baik, kertas, kanvas maupun kain bisa terlihat hidup dan bernyawa.
Selain menjadi blogger juga, kini Mbak Tanti digandeng beberapa brand untuk bekerjasama dalam event-event yang tak jauh dari dunia menggambar. Karena hobi yang kini telah berubah menjadi profesi beliau, Mba Tanti Amelia sempat diundang ke Malaysia untuk sebuah kegiatan yang tak jauh dari dunia hobinya yaitu gambar menggambar. Asyiknya acara ini cukup bergengsi untuk level Internasional.
Fuya, Daluang dan Tapa
Fuya itu adalah kertas/kain yang terbuat dari kulit kayu Sae, Malo atau beringin. Kain ini belum banyak dikenal orang, namun di Sulawesi Tengah, seperti di Lembah Bada Kabupaten Poso, masyarakat masih mempertahankannya kehidupan kain kulit kayu ini. Hihihi… ngomongin tentang Sulawesi, saya jadi teringat mertua saya yang berasal dari sana.
Sejarah awal adanya kain kulit kayu di Indonesia dimulai sejak kedatangan bangsa Austronesia yang melakukan perjalanannya lewat dua jalur, yaitu darat dan laut. Jalur darat melawati Vietnam sedangkan jalur laut melewati Filipina. Kemungkinan terbesar, orang-orang Austronesia jalur laut inilah yang mendarat di Sulawesi.
Mereka membawa peralatan pembuatan kain kulit kayu dalam perbekalannya. Sebab itu batu ike yang dipakai di Sulawesi ada persamaan dengan batu ike yang digunakan di Taiwan. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mexico dengan bukti persamaan bahasa dengan penyebutan nama batu ike.
Di Jawa nama Fuya kurang dikenal, disini lebih dikenal dengan nama Daluwang. Hanya saja penggunaan kain kulit kayu sebagai baju di Jawa masih sedikit sekali. Kebanyakan digunakan sebagai media tulisan atau druwang (kertas). Naskah kuno di Pulau Jawa banyak ditulis diatas daluwang.
Tapa merupakan sebutan kain kulit kayu di seluruh dunia. Terutama di Pasifik seperti Hawaii juga Mexico. Untuk pertama kalinya istilah Tapa diperkenalkan oleh pelaut Marcopolo.
Keberadaan kain kulit kayu ini sudah ada beribu-ribu tahun yang lalu, sejak zaman Neolitikum. Dibuktikan dengan adanya bukti sejarah berupa pakaian, naskah kuno dan kehidupan yang turun menurun sebagai fosil hidup yang diakui sebagai warisan budaya. Alhamdulillah kini sudah dicatat oleh Pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke dalam daftar warisan non benda Indonesia.
Semoga keberadaan Daluang, Daluwang, Dluwang atau Druwang ini bisa hidup dan bertahan di Indonesia. Karena ini merupakan benda bersejarah yang di miliki Indonesia.
Karena sekarang belum banyak yang tahu, tsebagai blogger saya berkewajiban ikut mengkampanyekan informasi ke semua orang agar Daluang ini bisa dikenal dan berkembang di Indonesia. Menjaga kekayaan Indonesia agar tidak dirampas oleh negara lain menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa dan warga Indonesia.
Pada kesempatan itu hadir pula Wakil Deputi Bidang Kebudayaan, Bapak Usmayadi Rameli, Peneliti Kain/Kertas Kulit Kayu Prof. Isamu Sakamoto, Kepala Museum Tekstil Esti Utami, dan Representatif Blue Bird, Ibu Nova.
Sebelum workshop dimulai, Kepala Museum Tekstil, Ibu Esti Utami menyampaikan laporan kegiatan yang dilangsungkan. “Pameran Fuya, Daluang dan Tapa ini bertujuan untuk mengangkat kain kulit kayu hingga ke kancah dunia sebagai salah satu kekayaan bangsa Indnesia yang harus dilestarikan,” ucapnya.
Workshop melukis di atas kertas Daluang ini dibuka oleh Asisten Deputi Bidang Kebudayaan, Bapak Usmayadi yang sekaligus menutup pameran Beaten Bark. Beliau mengatakan, bahwa “Kain kulit kayu perlu dijaga dan dipelihara agar tidak punah”.
Sementara itu, Ibu Nova selaku representatif Blue Bird menyampaikan bahwa, “Peran wanita (Kartini-Kartini Blue Bird) sangat diharapkan agar nantinya akan tetap harus menjaga tradisi kulit kayu ini agar tetap lestari hingga anak-cucu”
Sebagai simbolisasinya dilaksanakan penyerahan kenang-kenangan lukisan karya Mbak Tanti Amelia di atas kertas daluang kepada Asisten Deputi Bidang Kebudayaan DKI Jakarta Bapak Usmayadi Rameli oleh mbak Tanti Amelia.
Profesor Isamu Sakamoto, Ahli Kertas dari Jepang tak lupa juga mendapat kenang-kenangan serupa yang diserahkan oleh Mbak Nova dari perwakilan Kartini Blue Bird. Profesor Isamu Sakamoto merupakan peneliti tentang kain kulit kayu dari Jepang, beliau di Indonesia sejak beberapa bulan lalu tengah melakukan penelitian bersama Museum Tekstil dan Kriya Indonesia ke Lembah Bada Sulawesi Tengah.
Sedangkan kenang-kenangan untuk Kepala Museum Tekstil Ibu Esti Utami diserahkan oleh Astri Damayanti yang merupakan Founder Kriya Indonesia
Doodle di Atas Daluang
Pengalaman saya tentang dodle yaitu ternyata menggambar dan mewarnai itu menyenangkan. Entah tiba-tiba saya jadi bisa mengingat-ingat masa kecil saya yang tak jauh dari aktifitas menggambar. Wah menggambar ternyata bisa mengurangi stress dan menyegarkan pikiran.
Untuk selanjutnya, acara lukis melukis ini dimulai. Peserta diberikan seperangkat alat melukis berupa pensil, penghapus, kertas gambar, kuas, cat acrylic, gelas plastik berisi air, dan kertas Daluang. Menyakinkan diri sebelum menorehkan kuas di atas daluang, untuk mengetes gambar di kertas gambar yang diberikan.
Saya awalnya mencoba menggambar daun-daun berguguran di atas kertas gambar. Namun, akhirnya saya menggambar payung dan hujan sebagai obyek utama sebelum akhirnya daun-daun berguguran itu menemani kucuran gerimis di atas payung. Setelah yakin, selanjutnya saya pindahkan melukis di atas Daluang. Setiap tarikan garis dengan penuh kehati-hatian saya torehkan di daluang.
Untuk proses menggambar sebaiknya sudah tidak melakukan kesalahan di atas daluang. Meskipun bisa dihapus, daluang rentan sbek apalagi jika terkena air. Penggunaan cat acrylic sebagai upaya mengurangi penggunaan air dalam pewarnaan.
Hal ini karena tekstur daluang yang rapuh dan mudah robek jika terkena cairan meskipun harganya cukup mahal. 1 m persegi kertas kain Daluang di Sulawesi Tengah harganya kisaran IDR.150.000-IDR.350.000. Sedangkan di Bandung hingga IDR.500.000. Dengan proses pembuatan yang tidak sederhana, bahan yang terbats, juga waktu yang lama bahkan hingga 1 pekan dalam pembuatan selembar Daluang, harga di atas memang pantas diberikan pada Daluang kain kayu tradisinal Indonesia ini.
Dalam kesempatan ini juga dipamerkan beberapa pakaian dari kain Daluang dari berbagai daerah seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatra.
Semoga Daluang tak hilang dan tetap dilestarikan juga dikenang. #SaveDaluang