Bagi saya yang tumbuh dan hidup di daerah yang sudah berkembang pembangunannya, tentu cerita tentang perjuangan anak-anak di dalam tokoh film Jembatan Pensil, adalah suatu kisah epik yang menarik. Jalanan depan rumah orang tua saya adalah jalan raya Propinsi yang beraspal, yang tentu saja nyaman untuk dilewati, apalagi untuk sekedar sekolah. Apalagi sekolah saya tak pernah jauh. Sekolah TK cukup saya berjalan 500 meter dari rumah, SD cukup 1 km, SMP cukup 2 km, dan SMA cukup 3,5 km. Menempuh sekolah TK hingga SD saya cukup berjalan kaki, sesekali naik sepeda. Jalanan nyaman, rata dan sedikit ramai. Sehingga jika harus mendengar cerita anak-anak yang harus berjalan puluhan kilometer tiap hari untuk sekolah, melewati lembah gunung dan hutan kayak doraemon, bahkan menyeberang jembatan menyeramkan di atas sungai deras seperti di Film Jembatan Pensil itu adalah cerita “wah” bagi saya.
Sewaktu bekerja di Surabaya selepas lulus kuliah, karena dekat dengan kantor saya sempat tinggal mengontrak dengan mahasiswa ITS di wilayah Keputih. Nah, karena luasnya areal kampus, saya ingat ada adik-adik jurusan MIPA yang tinggal mengontrak dengan saya enggan melewati jalan pada umumnya karena terlihat jauh, mereka melewati gang sempit di belakang kampus dan harus melewati rawa-rawa. Asli itu sebenarnya bukan jalanan, hanya saja itu adalah jalan pintas untuk segera sampai di kontrakan agar bisa segera istirahat di tengah padatnya jadwal pratikum yang cukup melelahkan. Nah, saya ingat melewati jalan pintas itu adalah hal epik mereka. Mereka melewati pinggiran tembok pembatas kampus dan rumah warga. Jika tercebur di rawa pada waktu pulang kuliah mungkin masih mending mereka hanya ditertawakan teman-teman, jika itu waktu berangkat dan sudah mepet waktu, riwayat itu adalah nasib buruk dimarahi dosen, belum lagi kadang kertas dan hasil pratikum yang ikut basah kuyup bahkan rusak.
Jadi ketika menonton salah satu scan film Jembatan Pensil ini, saya dibuat takjub dengan aksyen perjuangan anak-anak SD yang harus bersekolah di tempat yang jauh dari rumah mereka, melewati sebuah jembatan yang sudah rapuh dan sempat membuat mereka tercebur basah kuyup.
Menurut Exan Zen sang penulis skenario Jembatan Pensil, kisah ini berawal dari kisah nyata yang dialaminya. Di masa kecil, dia harus menempuh perjalanan berliku untuk menuju sekolah. Sebuah jembatan juga harus dilewati Exan Zeus bersama 4 kawannya, malang tak bisa dicegah saat ternyata 3 dari 4 rekannya mengalami kecelakaan dan jatuh dari jembatan hingga meninggal dunia. Di film Jembatan pensil hanya 1 korban jiwa. Dulu saat sekolah bersama, Exan Zeus dan kawan-kawan juga sempat berbagi sebuah penghapus menjadi 5 potong, dalam adaptasinya, dia mengubah penghapus menjadi pensil yang dibagi menjadi 4.
Sebagai pengamat kebetulan kemarin lusa, 3 September 2017, saya berkesempatan, saya melihat Gala Premiere film ini di Gandaria City XXI, memang ide kecil film ini berasal dari kisah nyata, dan inilah yang menurut saya membuat film ini memiliki ruh dan mampu dikemas manis hingga menggetarkan hati penontonnya. Saya yakin film produksi Rumah Produksi Grahandika Visual ini akan sukses di pasaran, ibarat guyuran hujan, film ini ibarat hujan yang dirindukan di tengah kemarau panjang film anak-anak bermutu di era ini.
Film untuk keluarga dan layak untuk semuua usia ini mengambil lokasi di Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara ini, mengangkat tentang kisah kehidupan anak-anak sekolah dalam upaya mereka untuk tetap terus belajar walaupun dalam keterbatasan ekonomi, pun harus berjalan jauh dan melewati jembatan yang sudah rapuh. Di Sebuah Sekolah Gratis yang dibangun oleh Pak Guru (diperankan oleh Andi Bersama), anak-anak berkebutuhan khusus seperti Ondeng (tuna grahita yang diperankan Didi Mulya) dan Inal (tuna netra yang diperankan oleh Angger Bayu) yang secara fisik dan mental tidak sempurnapun masih tetap bisa mengenyam pendidikan bersama anak-anak yang normal tidak hanya di dalam kelas tapi juga belajar langsung pada alam.
Interaksi dan konflik antar karakter dalam film ini mengangkat tentang tema persahabatan, cinta dan perjuangan dengan sangat sederhana walaupun dikuatkan dengan beberapa adegan tragis yang mengundang air mata. Visual yang luar biasa dari pemandangan laut, pantai bukit dan daratan di Muna sangat luar biasa, belum pernah ditampilkan dalam film layar lebar di Indonesia mengimbangi beberapa adegan sedih yang mewarnai film ini.
Film ini menampilkan karakter masyarakat Sulawesi Tenggara khususnya Kabupaten Muna dengan beberapa mata pencaharian penduduk yang sebagian sebagai penenun, nelayan dan peternak. Pengusaha Tenun Ibu Farida (yang diperankan Meriam Bellina), nelayan diwakili tokoh bernama Gading (diperankan oleh Kevin Yulio) dan peternak yang diwakili oleh Arman (Agung Saga).
Film ini banyak menggunakan bintang film yang telah berpengalaman, pemeran anak-anak seperti Permata Jingga (berperan sebagai Yanti), Azka Marzuki (berperan sebagai Aska), Nayla D Purnama (berperan sebagai Nia), Vickram Priyono (berperan sebagai Attar). Pemain dewasa yang sudah malang melintang seperti Deden Bagaskara (berperan sebagai Pamone), Roy Turaekhan (berperan sebagai Jaffar) dan Alisia Rininta (berperan sebagai Aida).
Film ini juga menghadirkan pemain baru Didi Mulya yang berperan sebagai Ondeng, dan juga Angger Bayu yang berperan sebagai Inal bocah tuna netra.
Sinopsis Film Jembatan Pensil
Sebuah kisah perjuangan anak-anak usia Sekolah Dasar (Inal, Nia, Aska, Yanti dan Ondeng) untuk terus mendapatkan pendidikan di sebuah Sekolah Gratis yang dibangun oleh Pak Guru. Inal yang tuna netra dan Ondeng yang memiliki ‘keterbelakangan’, tetap bisa menikmati masa-masa sekolah dengan gembira walaupun harus melalui perjalanan berliku untuk berangkat dan pulang sekolah.
Kemampuan Ondeng menggambar sketsa menjadi kesibukan hari-harinya di dalam maupun di luar sekolah, dia selalu ‘merekam’ semua yang menjadi ketertarikannya dalam gambar sketsa, termasuk kehidupan ayahnya yang seorang nelayan dan jembatan rapuh yang selalu dilalui sahabat-sahabatnya. Cita-citanya adalah untuk membangun jembatan yang setiap hari dilalui sahabat-sahabatnya itu. Ketika akhirnya jembatan rapuh itu rubuh saat keempat sahabat itu sedang menyeberang, tidak membuat semangat anak-anak itu pupus.
Ketakutan dan pikiran Ondeng yang selalu teringat ayahnya dan ketakutannya setelah ditinggal ayahnya membuat Ondeng lepas kendali dan tidak menyadari bahayanya membawa perahu sendiri ke laut.
Bagaimana akhirnya impian Ondeng untuk membangun jembatan untuk teman-temannya?
Yuk saksikan Film Jembatan Pensil ini di bioskop di tanah air mulai 7 September 2017
Kesan Terhadap Film Jembatan Pensil
- Keluar dari studio di dalam bioskop terkesan keget saat menemui Angger Bayu waktu Press Converence. Angger Bayu ternyata tidak buta, dia merupakan anak berbakat dari Sanggar Anak Bulungan asuhan Bang Andi Bersama yang juga ikut bermain dalam film ini sebagai Pak Guru. Hi hi hi, kalau saya pasti pusing aksyen membalik-balik mata bak para tuna netra selama beberapa waktu.
- Film ini termasuk film yang bisa memancing air mata, jangan lupa bawa tisyu ya… Namun sedih-sedih yang ada akan terobati oleh visual yang luar biasa dari pemandangan laut, pantai bukit dan daratan di Muna sangat indah, belum pernah ditampilkan dalam film layar lebar di Indonesia mengimbangi beberapa adegan sedih yang mewarnai film ini.
- Sebagai menantu orang Suku Muna, yang terkenal bicaranya lantang dan keras, saya menilai akting Mbak Meriam Bellina masih tetap pantas diacungi jempol. Gaya bicara dan logatnya amat pandai meniru gaya orang Muna. Untuk logat pemain lainnya belum penuh mencirikan orang Muna, kecuali orang yang berperan sebagai ayah Arman.
- Salah satu adegan di film ini, Attar anak-anak yang bersekolah di Sekolah Gratis diantar kakaknya berangkat sekolah dengan naik kuda. Sedangkan peternakan yang dominan di Kabupaten Muna merupakan peternakan kuda, namun di film digambarkan adanya peternakan sapi. Saya yakin jika ditunjukkan itu peternakan kuda, dan kuda yang lebih banyak diperlihatkan daripada sapi di dalam film tentu lebih eksotik.
- Dalam salah satu adegan melaut, Gading berakting sedang membaca buku, terlihat Gading membaca buku Filsafat Kesusastraan. Hal menggelitik bagi saya, mengapa seorang Gading yang diceritakan tidak berpendidikan tinggi bisa tertarik filsafat sastra? Sebuah keilmuan yang menurut saya terbilang berat. Mengapa bukan buku tentang marketing saja yang dibacanya agar hasil melautnya sebagai nelayan bisa berkembang secara eknomi.
- Oh ya, ada sedikit kejanggalan tentang anak-anak yang basah kuyup sehabis tercebur di sungai akibat jembatan yang runtuh. Mengapa dibiarkan meneruskan belajar, bahkan di ajak ke dalam goa Liang Kobori untuk belajar bersama alam. Mengapa tidak diminta pulang saja, tak adakah kekhawatiran jika mereka masuk angin. Hi hi hi, untunglah ini hanya film, kalau saya jadi gurunya saya pasti bingung mencarikan baju ganti untuk mereka.
Terlepas dari segala kekurangannya, film ini patut mendapat bintang 4 dari level maksimal 5. Sebuah apresiasi karya anak Bangsa Indonesia yang cukup menginspirasi ditengah sepinya karya-karya bermutu bernuansa pendidikan dan mampu mengangkat kearifan lokal daerah yang selama ini masih belum di kenal. Daerah Raha Muna bisa dibilang adalah “raja ampat-nya” Sulawesi yang belum tereksplor.
Oh ya Jembatan Pensil ada lho di kehidupan nyata. Setelah hadirnya film Jembatan Pensil ini, di Kabupaten Muna didirikan sebuah jembatan di dekat Danau Futuno Sangia, Kecamatan Kabangka, Kabupaten Muna yang disebut Jembatan Pensil. Tempat ini yang dipakai syuting film Jembatan Pensil. Hal ini saya lihat di postingan warga Muna di instagram bernama @kemaladewi92.
Sebagai sebuah apresiasi terhadap film anak bermutu ini, pihak Istana Kepresidenan menggelar acara diskusi dan pemutaran khusus, bahkan sebelum gala premiere digelar yaitu tanggal 23 Agustus 2017. Tanggapannya luar biasa, bahkan akan digelar nobar kedua di tempat yang sama, setelah melihat antusiasme sebelumnya.
Karena tayangan ini cukup mengapresiasi para anak berkebutuhan khusus, saat ini juga sedang diproses dibuatnya text tulisan untuk anak tuna rungu dan suara yang lebih dominan untuk anak tuna netra.
Kampanye-kampanye ke berbagai sekolah termasuk di Jabodetabek juga beberapa kota besar lain juga dilakukan, agar banyak anak-anak banyak terinspirasi film ini, dan semakin rajin belajar dengan fasilitas belajar di sekolah mereka yang tentunya lebih baik daripada siswa-siswi SD Towea di film Jembatan Pensil. Supaya mereka tak terkena arus pergaulan negative di luar sana dan melupakan pentingnya pendidikan.
Mau nobar juga? Yuk diatur saja waktunya…